Pemanasan global menjadi topik perbincangan yang selalu hangat dihidangkan kapan saja dan di mana saja. Persoalan ini sudah diperdebatkan oleh kalangan ilmuwan sejak akhir dekade 1970-an. Pemanasan global merupakan gejala naiknya intensitas efek rumah kaca. Efek rumah kaca disebabkan oleh gas rumah kaca di atmosfer, yaitu CO2 (karbon dioksida), CH4 (metana), N2O (nitrogen oksida), CFC (kloro fluoro karbon), HFC (hidro fluoro karbon), PFC (perfluoro karbon), dan SF6 (sulfur heksafluoro). Gas rumah kaca dapat memantulkan sinar matahari yang terperangkap di bumi secara berulang-ulang ke bumi sehingga temperatur permukaan bumi meningkat. Gas-gas rumah kaca kebanyakan datang dari asap pabrik, kendaraan bermotor, dan pembakaran. Tak disangka sampah jenis organik juga menyumbang pembentukan gas rumah kaca. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan bahwa timbunan sampah di tempat pembuangan akhir (TPA) didominasi oleh sampah organik sebanyak 60%, sampah plastik 14%, sampah kertas 9%, metal 4,2%, dan bahan lainnya 12,7%. Sustainable Waste Indonesia juga menyatakan bahwa sebanyak 24% sampah di Indonesia tidak terkelola, 69% sampah terbuang ke TPA, 7% dijadikan kompos dan didaur ulang. Sisanya dibakar, ditimbun, atau tidak ada perlakuan sama sekali. Slogan “buanglah sampah pada tempatnya” tidak cukup menyelesaikan persoalan sampah. Membuang sampah pada tempatnya hanya memindahkan sampah dari satu tong ke tempat lain dan berakhir tanpa perlakuan apapun, yakni tempat pembuangan akhir.
Sampah organik berasal dari sisa-sisa bagian makhluk hidup yang tidak terpakai. Sampah jenis ini sebenarnya dapat menyejahterakan kehidupan manusia jika dikelola dengan baik. Sampah organik paling banyak dihasilkan dari dapur, seperti sisa sayuran, sisa buah, remahan nasi, dan bahan makanan lainnya. Menurut Dwi Sasetyaningtyas (2020) dalam buku Sustaination, satu dapur saja bisa menghasilkan sampah organik seberat 0,5 kg per harinya, belum lagi dari dapur restoran dan sumber lainnya yang akhirnya sampah-sampah tersebut hanya terbengkalai di TPA. Penimbunan sampah organik menyebabkan kurang bahkan tidak tersedianya oksigen dan sinar matahari sehingga sampah organik pada bagian bawah akan terurai tidak terkendali secara anaerob atau tanpa oksigen. Sampah organik yang mengandung berbagai macam zat, seperti karbohidrat, protein, lemak, mineral, vitamin, dan zat organik lainnya akan terurai karena dipengaruhi oleh pengaruh fisika dan kimia yang terkandung di dalam sampah. Berbagai zat organik akan terurai menghasilkan campuran gas metana sebanyak 55-75 vol% dan gas karbon dioksida 25-45 vol% serta ditambah zat-zat lainnya yang menimbulkan bau dan bibit penyakit. United States Environmental Protection Agency (EPA) menyatakan gas metana menyumbang 30 kali lebih tinggi daripada gas karbon dioksida terhadap efek rumah kaca dan pemanasan global, tentu sangat berpengaruh terhadap pemantulan panas bumi. Suhu di TPA juga lebih tinggi karena sifat gas metana yang mudah meledak dan jika dibiarkan akan menimbulkan kebakaran di TPA. Apakah masih yakin membuang sampah pada tempatnya sudah cukup? Apakah kita sudah bijak dengan hanya membuang sampah pada tempatnya? Tentu tidak, diperlukan upaya yang lebih dalam menangani sampah organik. Sampah organik harus diolah dan dimanfaatkan agar gas-gas hasil penguraian tidak memperparah gas rumah kaca sesuai kunci zero waste lifestyle.
Kunci
zero waste lifestyle adalah mencegah
barang-barang baru yang berpotensi menjadi sampah, mengurangi barang-barang
yang tidak dibutuhkan, serta memilah dan mengolah kembali sisa konsumsi. Pemilahan sampah menjadi langkah awal dalam pengelolaan sampah organik. Sampah harus
dipisahkan berdasarkan jenisnya, yaitu sampah organik dan anorganik karena
setiap jenis sampah memiliki sifat yang berbeda dan sifat sampah
mengindikasikan cara pengolahannya. Sampah organik di dapur dapat dijadikan
alternatif kebutuhan rumah tangga yang tentunya ramah lingkungan, seperti kulit
buah dapat dijadikan eco-enzym dan
sabun cuci piring. Sampah organik juga dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan bioetanol
sebagai bahan bakar kendaraaan bermotor, generator, dan kompor. Antonius Lulut Iswanto
membuat bioetanol dari sampah buah-buahan Pasar Induk Kramatjati, Jakarta Timur.
Budi Sunarto di Surakarta, Jawa Tengah juga memproduksi bioetanol dari sampah
organik buah dan sayur Pasar Gedhe karena beberapa warga memprotes bau busuk di
sekitar Pasar Gedhe. Heri Prasetya di Mataram, Nusa Tenggara Barat,
menghasilkan bioetanol dari sampah organik pasar, air kelapa, buah jambumete,
jerami padi, tangkai jagung, tangkai sorgum, dan bonggol jagung.
Pembuatan
etanol dari sampah organik cukup mudah. Sampah sayuran yang masih keras perlu
digiling menyerupai bubur, lalu diperas. Khusus untuk sampah buah, digiling
secara terpisah sesuai jenis buahnya tanpa diperas. Pembuatan bioetanol
membutuhkan 2 sendok makan urea, 1 sendok makan NPK, dan 1 ons ragi tapai serta
ditambahkan 100 liter cairan hasil perasan sayuran, lalu diaduk hingga rata, begitu
juga dengan hasil penggilingan buah. Khusus bubur jeruk, ditambahkan air dengan
perbandingan 1 : 1. Hasil campuran dibiarkan terfermentasi selama minimal satu
minggu. Ragi tapai yang terdiri dari Bacillus
sp, Rhizopus sp, Candida utilis, dan organisme lainnya akan merombak zat organik
dalam sayuran dan buahan menjadi alkohol. Setelah satu minggu, hasil penggilingan
akan mengapung di permukaaan, maka segera pindahkan hasil penggilingan tersebut
untuk dijadikan pupuk kompos. Cairan hasil fermentasi disuling dengan suhu 80℃.
Alkohol memiliki titik didih yang rendah dibanding air sehingga alkohol lebih
dulu menguap dan terkondensasi. Hasil sulingan pertama ini akan menghasilkan
etanol 50% yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar kompor. Jika etanol sulingan
pertama disuling kembali, akan meningkatkan kadar etanol minimal 80% dan dapat
dijadikan bahan bakar kendaraan bermotor. Omset Iswanto bisa mencapai Rp12 juta
per bulan dengan hanya menjual Rp5.000 per liter etanol. Laba bersih yang
didapat mencapai Rp8,4 juta per bulan lantaran ia praktis tidak membeli bahan
baku. Tumini, warga Karangpandan, mengatakan bahwa penggunaan bioetanol sebagai
bahan bakar kompor lebih hemat. Bioetanol 1,5 liter seharga Rp7.500 habis dalam
3 – 7 hari. Nyala api yang dihasilkan berwarna biru dan tidak menimbulkan
jelaga.
Badrussalam,
R. 2018. Membuat Biogas dari Sampah
Organik. Jakarta: INDOCAMP.
Pranata, L, dkk. 2021. Pelatihan pengolahan sampah organik dengan metode eco enzym. Indonesian Journal of Community Service 1(1): 171-179.
Puger. 2018. Sampah organik, kompos, pemanasan global, dan penamaan aglaonema di pekarangan. Agro Bali (Agricultural Journal) 1(2): 127-136.
Redaksi
Trubus. 2018. Sampah Jadi Bensin. Depok:
Trubus Swadaya.
Sasetyaningtyas, D. 2020. Sustaination: Zero Waste Bukan Hanya tentang Mengganti Sedotan Plastik. Solo: Tiga Serangkai.
Wahyono, S. 2020. Pengolahan sampah organik dan aspek sanitasi. Jurnal Teknologi Lingkungan 2(2): 113-118
Make sense ka. Sampah Organik Menjadi Solusi Kompor Listrik dan Pemanasan Global.
ReplyDeleteTerima kasih, Kak!
Delete