Skip to main content

Di Balik Mataku

Assalamualaikum wr. wb
Salam sejahtera bagi kita semua.
Maaf baru update, ya. Tanpa basa-basi lagi, di portingan kali ini aku buat sebuah cerpen.
Jadi, ada seorang siswi SMA yang baru lulus dan berniat melanjutkan ke dunia perkuliahan, namanya Chira. Tapi, sang Kakak menolak mentah keinginan Chira, apalagi Kakaknya langsung menolak beasiswa yang ditawarkan untuk Chira. Kakaknya hanya ingin Chira tidak seperti Mama. Apakah itu alasan sebenarnya? Memang ada apa dengan Mama mereka?Padahal sang Kakak lulus dari program S1 nya. Kenapa Chira tidak boleh? Katanya sih Chira dan Kakaknya itu berbeda. Berbeda bagaimana, ya?

Penasaran? Baca sampai selesai, ya🙏😊

Di Balik Mataku





Sandyakala berpendar sangat cantik. Hawa dingin mulai bersemilir. Ku pandangi goresan tinta di atas secarik kertas, goresan mimpi-mimpiku yang terlihat jelas di mataku.

Tidak biasanya aku menunggu selama ini. Menunggu sosok yang telah berjuang untukku sejak kecil dan selalu ada untukku dalam setiap waktu.

Krek

"Aku pulang!"

Suara itu terdengar akrab di telingaku.

"Gak biasanya kakak pulang terlambat." Aku menyambutnya dengan penuh rasa lega.

"Nanti aku jelasin, sekarang kita makan saja dulu." Kakak terburu-buru melepas sepatu hitam hadiah ulang tahun dariku satu tahun yang lalu. Saat itu, aku kasihan melihat kaki kakak yang lecet terkena batu karena sepatunya yang sobek dan lusuh. Jadi, aku menabung untuk membelikan sepatu.

"Chira kok bengong? Halo?" Kakak melambaikan tangan di hadapanku.

"Maaf, Kak. Sekarang langsung aja ke meja makan, aku sudah siapin telur kentang, bakso keju goreng, dan sambal bajak."


"Em, enak banget, masakanmu selalu enak persis masakan ibu." Kakak tersenyum simpul.

Topeng yang tak terlihat. Dibalik lekukan bibirnya ada sesuatu yang ingin diungkapkan tapi mulutnya membungkam semuanya.

Raut wajahnya yang tampan tertunduk lesu, kemudian kembali lagi tersenyum. Semenjak mama dan ayah meninggal, kakak yang mencari uang untuk kebutuhan kami. Sungguh pria yang kuat.


"Chira ada yang mau kakak bicarain sama kamu," ujarnya sambil menumpuk beberapa piring kotor di meja makan.

"Apa tu?" sambutku.

"Kakak sudah dapat pekerjaan tetap sebagai karyawan," jawabnya.

"Wah, selamat. Baru wisuda minggu lusa sudah dapat pekerjaan. Aku juga dinyatakan lulus dari sekolah dan…'' Aku belum sempat selesai bicara.

"Di rumah aja, ya." Kakak tersenyum kecil.

"Di rumah? Pasti aku  tetep tinggal di sini, aku gak bakal tinggal di kost meskipun kuliah."

"Chira, sampai sini jangan seperti mama."

Kakak berlalu begitu saja ke kamar tidurnya.

Aku terpaku.

"Apa aku gak boleh kuliah? Apa maksud jangan seperti mama?" batinku.

Tapi, apa hanya itu yang ingin kakak katakan?


Malam ini, aku pergi ke cafe untuk menemui teman sekolahku, Kiki. Sudah lama kita tidak bermain bersama semenjak ujian sekolah menghambur anak kelas 3.

"Kamu itu murid pintar, menjuarah beberapa lomba akademik.Terus kamu gak mau kuliah? Ya ampun, Chiraaa." Kiki geleng-geleng kepala.

"Bukan gak mau, aku masih bingung aja."

"Bingung kenapa sih? Kamu selalu ada di kelas paralel, semua murid di kelas itu pasti kuliah semua."

"Entahlah." Aku menunduk.

"Kalau itu bukan yang terbaik buat kamu, ikhlaskan. Tapi, kamu harus tetap berjuang dan semangat, kamu belum tau hasilnya kan, Chi," tutur Kiki

Aku mengangguk seraya meneguk coklat hangat khas cafe ini.

"Kalau ada yang nyelekit, ceritain aja ke aku. Aku akan jadi pendengar setiamu," Kiki tersenyum simpul, "Dan satu lagi, selama bumi berputar, semua tidak akan berhenti"

"Terima kasih, Ki." Aku menatap Kiki dengan nanap.


Sinar rembulan di tengah gulitanya langit. Gemerlap gemintang tak kalah dengan pendaran berlian. Asaku bagaikan bunga terkubur, tumbuh dengan pesona berakhir terpendam, entah akankah aku bisa menembus tanah itu. Fajar, bawalah keajaiban dan harapan baru bagiku. Ku mohon.


Tok...Tok...Tok…

"Chira, bangun! Kamu masih tidur, ya?! Bangun dong."

"Chira, kakak mau jelasin tentang kuliahmu!" teriak kakak.

"Kuliah!" aku terperanjat.

Krek…

"Jadi, gimana, kak? Aku udah siapin alat tulis, tas, buku, dan biaya untuk kuliah. Semua sudah diatur, Kak," celetuk ku.

"Hola, Chira. Lama gak ketemu."

"Kupingmu aneh deh, denger kata kuliah langsung melek," kakak menyeringai.

"Eh, Sasa tumben banget ke sini, duduk dulu di ruang tamu, entar aku nyusul."

"Oke, aku mau nunjukin sesuatu nih. Jangan lama-lama, ya."

Sasa berlenggak pergi dengan totebag kuning di genggamannya.

"Tadi handphone mu ada di meja makan terus ada nada dering ternyata dari wali kelasmu. Akhirnya kakak angkat karena takut penting, katanya universitas yang mengadakan olimpiade kimia nasional membuka beasiswa buat kamu karena kamu juara 1 saat itu," tutur kakak.

"Syukurlah, kak. Pasti aku dibiayai penuh di sana, sebentar lagi aku langsung ke sana sekalian nemenin Sasa pulang."

"Kakak tidak menerima."

"Jadi?"

"Beasiswa itu gak tepat buat kamu." jawab kakak dengan lirih.

Aku melengung.

"Kakak yang mencari uang saja. Tenang, kamu tetap bebas, sekarang kamu boleh jalan-jalan keluar kota. Kalau kamu bosan di rumah, kamu bisa membuka online shop, toko, atau bekerja."

Badanku bergidik ngeri, mataku terbeliat, kakiku mendadak lemas, tapi ku tahan.

"Kak, beasiswa itu kenapa disia-siakan bahkan kakak gak mendengar jawabanku dulu dan menolak begitu saja. Kenapa, kak? Kenapa?" suaraku bergetar.

"Kakak gak mau kamu seperti mama, itu saja." kakak melenggak pergi.

Dengan cepat, aku menarik lengan bajunya.

"Apa maksudnya, Kak? Tolong jelasin, jangan buat aku bingung, Kak."

Kakak membalikkan badannya, matanya sedikit berbinar.

"Mama adalah wanita karir, dia sangat sibuk berangkat pagi sekali pulang sangat larut. Itu penyebabnya mama dan Ayah bertengkar."

"Aku gak akan seperti itu, Kak," lirihku.

"Anak gak beda jauh sama induknya. Kakak gak mau itu terulang lagi!" bantah Kakak.

"Kakak kan juga anak mama, apa cuman aku yang seperti mama? Enak banget kakak bisa kuliah," sanggahku.

Kakah hanya diam menunduk, tangannya sedikit mengepal.

"Kakak kan bisa menahan diri."

"Aku juga."

"Gak mungkin, kakak beda sama kamu. Pokoknya gak usah kuliah-kuliahan," kilah kakak kemudian berlenggak pergi.

Suaraku tertahan di leher.

Bagaikan disambar petir di pagi buta. Aku benar-benar terbungkam. Diam mematung setelah mendengar cerita kakak, sampai-sampai aku lupa Sasa sudah menunggu lama sedari tadi bahkan aku tidak tahu kakak ada di mana lagi.


"Sa?"

"Eh, Chira." Sasa menghentikan aktivitas mengetiknya.

"Gimana novelmu? Udah dapet konfirmasi?" tanyaku sembari melendeh di sofa sebelah Sasa.

"Udah, jam 9 nanti aku disuruh ke kantornya untuk tanda tangan kontrak," jawab Sasa seraya memasukkan laptop nya ke dalam tas.

"Wah, hebat banget kamu, baru lulus udah dapet begituan."

"Mangkanya aku pikir mending aku gak perlu kuliah. Meskipun kakak aku ngotot banget mau kuliahin aku, tapi akhirnya dia ngerti juga."

"Enaknya," lirihku.

"Nih, baca, ya. Seenggaknya hargai." Sasa menyerahkan sebuah amplop pink dengan motif bunga mawar.

Aku membaca isi surat itu.

"Kalo dia serius kenapa nyuruh kamu ngasih surat ini? harusnya dia sendiri langsung kasih ke aku."

Sasa menghirup nafas panjang-panjang.

"Kamu tau gak, aku tadi ketemu dia di jalan. Terus dia ketabrak mobil. Untung cuman luka lecet di kakinya, tapi di lengan bawahnya ada luka tusuk karena waktu dia jatuh ada kayak benda tajam gitu."

"Te...Terus sekarang dia di mana? Gimana keadaannya?" Aku terperanjat.

"Sepedanya gak papa, cuman pedalnya bengkok dan langsung dibawa ke bengkel sepeda pancal tadi."

"Ih, aku gak peduli sama sepedanya."

Sasa tertawa terbahak-bahak.

"Arkan dibawa ke rumah sakit sama orang sekitar, terus aku langsung telpon orang tuanya. Tenang aja, luka tusuknya kecil."

"Syukur kalo gitu."

"Aku yang punya ide untuk ngasihin ini ke kamu. Sebenernya Arkan gak mau soalnya dia pengen ngasih langsung ke kamu," ceritanya. "Jadi, gimana?"

"Aku tolak untuk saat ini soalnya aku sudah janji sama diri aku untuk gak pacaran."

"Untuk saat ini aja, kan" kata Sasa sambil terkekeh-kekeh.

Aku mendengus kasar.

"Oke, aku pamit dulu, Chi."

"Cepet banget, Sa."

"Chi, aku tau kamu pengen kuliah. Aku tau kakakmu sayang banget sama kamu. Tetep semangat kejar mimpimu, aku yakin bentar lagi semua akan terjawab." Sasa menepuk pundakku.

"Dah, aku pulang. Kakakmu tadi keluar, sampaikan salam buat dia, ya."

Aku mengangguk.


Secarik kertas penuh goresan tinta itu akan menjelma. Aku ingin melihatnya, tapi aku akan melihat hari ini terlebih dahulu.

Ingin kuliah bukanlah sebuah keinginan tanpa ada maksud, aku ingin membantu kakak dan…

Apa keinginanku terdengar egois?

Akankah goresan tinta ini akan jadi cerita belaka? Apakah aku harus menggenang di cekukan lubang kecil? Aku ingin mengalir bebas di sungai yang nantinya sampai di laut biru gemerlap. Tuhan, apakah goresan tinta ini salah?


...

"Terima kasih sudah berkunjung, Chira."

"Sama-sama, maaf aku menolak."

"Gak papa, memang ini yang terbaik. Jadi, aku bakal nungguin kamu dan menjaga perasaan. Cukup Tuhan dan kita berdua yang tahu, gak peduli selama apa." Arkan tersenyum lebar.

"I...Iya. Kalo gitu aku permisi dulu. Salam buat orang tuamu, ya." Pamit ku malu-malu.

Setelah berada di luar ruangan, aku lega sekali. Syukurlah Sasa dan Kiki memberiku nomor kamarnya.

Aku menyusuri lobi rumah sakit dengan cepat agar aku tidak terlalu sore sampai di rumah. Setelah sampai rumah, aku akan memberi pengertian kepada kakak agar mengizinkanku kuliah. Aku tidak boleh menyerah sebelum tahu hasilnya. Aku akan coba lagi. Tapi, jika keinginanku untuk kuliah memang bukan yang terbaik untukku, aku ikhlaskan.

Di taman kecil rumah sakit terlihat samar-samar seperti kakak dengan wanita paruh baya duduk di kursi roda sedang berbincang seru. Aku memastikan apakah itu kakak atau bukan.

"Chi...Chira!" pekik wanita paruh baya itu.

"Siapa, Ma?"

"Dia Chira, anak Tante Irma, udah lama mama gak ketemu dia, Kevin."

Kakak menoleh ke samping kirinya.

"Chira! Kamu ngapain ke sini?"

Aku bingung kenapa wanita paruh baya itu tau namaku dan nama Mama.

"Sini, Nak. Gimana kabar kamu?"

Aku menghampiri mereka.

"Aku ak kenal wanita ini sebelumnya," batinku.

"Chira, aku anterin pulang, ya," pekik Kakak.

"Jangan pulang dulu, mama kangen sama anak sahabat mama, Kevin."

"Ini maksudnya apa? Tante siapa?" aku benar-benar bingung.

"Nama tante, Bela. Syukurlah kalo Kevin sudah merawat kamu sampai sebesar dan secantik ini, Chira."

Aku menoleh ke arah kakak yang berdiri di samping Tante Bela.

"Oke, bagaimanapun kamu sudah sepantasnya tahu, Chi. Ini Mama aku, kakinya lumpuh dan ada sedikit masalah sama ginjalnya. Jadi, harus rawat inap di sini, hampir enam tahun sejak kecelakaan. Syukurlah, biaya ditanggung kartu dari tempat kerja Mama. Sayangnya nyawa Mama kamu gak bisa terselamatkan," jelas kakak.

"Waktu itu tante sama Mama kamu pulang kerja bareng naik mobil tante dan kebetulan Mama kamu yang menyetir mobilnya. Tapi, Mama kamu nelpon sambil nyetir padahal tante sudah menegur dia. Rasanya waktu itu Mama kamu bertengkar sama Ayah kamu karena Ayah kamu mengajukan cerai. Mama kamu marah sambil nangis-nangis, dia gak terima. Karena Mamamu gak konsentrasi, akhirnya terjadi kecelakaan," sambung Tante Bela.

"Terus kenapa kakak gak cepat-cepat menemui Mama di rumah sakit? Kenapa cuman aku sendiri yang ada di ruangan itu, saudara-saudaraku dan ayah juga gak ada?" tanyaku penuh selidik.

"Aku anak Tante Bela." Sekilas Kakak melirik Tante Bela.

"Ha?" Aku dibuat bingung, aku benar-benar tidak tahu apa yang sudah terjadi.

"Aku tahu betul, waktu itu kamu nangis sambil berontak di rumah sakit. Aku kasihan lihat kamu masih SMP kelas satu harus tinggal sebatang kara, akhirnya aku mutusin untuk ngerawat kamu. Apalagi keluargamu itu dijauhi sama saudara-saudaramu setelah kakek dan nenekmu meninggal dan ketika orang tuamu sudah gak ada, saudaramu tidak ada yang peduli sama kamu," tambah kakak.

"Kenapa dulu Kakak bilang, kalo Kakak itu saudara kandung aku, tapi jauh-jauhan karena sekolah kakak di luar kota?"

"Kakak takut kamu gak mau tinggal sama kakak karena Mamamu meninggal. Kakak gak tau harus gimana lagi, akhirnya itu jalan yang Kakak pilih."

Kakiku lemas setelah kenyataan menamparku.

"Chira, yang kuat. Kamu gak sendirian, ada kakak, Tante Bela, sama temen-temen kamu." Kakak menyandarkanku di dadanya dan merangkulku.

"Tante, Kakak, terima kasih untuk selama ini. Selama ini aku gak tau… Mungkin kalo gak ada kalian berdua aku jadi anak liar. Aku gak nyangka kalian ada di balik mataku, kalian sangat berkorban banyak untuk aku."

"Udah gak usah dipikirin lagi, Chira," sela Tante Bela.

"Kamu boleh kuliah pake beasiswa itu," bisik Tante Bela.

Aku terkejut, "Tante tau tentang beasiswa itu?!"

Tante Irma manggut-manggut.

"Ma, gak boleh, dia lebih baik di rumah saja." Kakak mengelak.

"Aku gak bakal seperti Mamaku, Kak. Apalagi selama di tengah kesibukanku sekolah, aku bisa bagi waktu untuk memasak dan membuat kopi dan cemilan untuk Kakak."

"Bukan itu, Chi…." Kakak menggantung kalimatnya.

"Kenapa, Kevin?"

Kakak semakin berdegup mendengar pertanyaan dari Mamanya.

"Apa kamu siap hidup di luar sana? Apalagi   universitas itu di luar kota. Bagaimana kalau nanti kamu ditipu, dicopet, disakiti, Kakak gak bisa bayangin jadinya gimana."

"Kak, justru itu yang nantinya menguatkan aku. Aku akan belajar dari masalah yang aku hadapi. Aku yakin, Tuhan memberikan ujian untuk manusia tidak melebihi batas kemampuan mereka."

"Tapi, meskipun kamu jauh dari kita bukan berati kamu sendirian. Kabari kita dan jangan lupa mampir," tutur Kakak sedikit lega. "Kakak izinin."

"Serius?" Aku yakin, aku bisa makanya aku yakin Kakak pasti mengizinkan.

"Wah, makasih, Tante, Kakak. Aku sayang kalian." Aku memeluk erat mereka.

"Tante, yakin kamu anak yang baik karena Kevin selalu cerita tentang kamu. Jadi, kalau kamu mau curhat atau sekedar cerita ke Tante gak papa. Kamu anggep kita ini keluargamu sendiri."

"Belajar yang rajin, ya. Raih cita-citamu. Pasti Mamamu bangga punya anak cantik yang pantang menyerah meskipun kamu sempat terhalang kuliah gara-gara Kakak. Maaf, ya"

"Gak papa, Kak. Aku akan menjadi orang seperti Tante dan Kakak."

"Chira, jadilah lebih dari kami. Kalo kamu anggap kami pintar, jadilah lebih pintar lagi. Kalau kamu anggap kami baik, jadilah lebih baik dari kami. Asalkan jangan melebihi Tuhan karena Tuhan adalah Tuhan, tidak dapat digantikan oleh siapapun," nasehat Tante Bela.

"Iya, Te," mataku berkaca-kaca.

"Sudah gak usah nangis, sekarang kita langsung ke sekolahmu," ajak Kakak.

"Tapi, Tante gimana?"

"Sudah gak papa, sekarang waktunya tante istirahat."


Kenyataan memang menyakitkan, tapi aku tidak bisa berpaling dari semua ini. Selama ini tak pernah kusadari, ada orang-orang baik yang menolong di balik mataku. Mereka telah menyelamatkanku dari kegelapan.


Mama, apa kau mendengarku? Aku yakin mama selalu bersemayam di hatiku. Di sini, Chira bertemu dengan orang-orang yang baik dan mereka sangat menyayangi Chira. Mama, do'akan Chira agar bisa bermanfaat bagi orang lain. Tetaplah bersama Chira. Chira sangat menyayangi Mama.


Goresan tinta ini akan menjelma dan akan berada di antara gemerlap gemintang di atas. Bersabarlah. Semua ini belum berakhir, masih akan ada hari esok yang harus ku hadapi dengan ketegaran hati. Aku masih belum ada dipuncak, aku yakin selama hidup pasti akan ada keinginan baru yang lahir. Keinginan itu tak membuat kita berdiam diri. Semuanya terus bergerak.


5 tahun kemudian.

Cekrek…

Aku membanting

badanku di kursi mobil sebelah kursi supir.

"Rumahnya kosong, jam segini biasanya jemput istrinya di kantor. Tante Bela juga gak ada, mungkin ikut juga."

"Ya udah ke makam Mamamu dulu saja, terus balik ke sini lagi."

"Oke, habis dari sini jalan-jalan bentar, ya. Mumpung kita libur kerja," ujarku.

"Siap, Sayang"


Pendaran cahaya sore ini melukiskan pesona tersendiri bagi kami. Mendapatkan yang baru bukan berati melupakan yang lama. Orang-orang yang telah menemaniku dan menyayangiku saat itu bukan sesuatu untuk dilupakan. Mereka sungguh berharga. Sesuatu yang kecil jika berharga akan terlihat besar. Merekalah yang mendorongku maju hingga sejauh ini hingga seterusnya.


Selesai!

Bagaimana menurut kalian? Aku harap bisa bermanfaat buat kalian, ya😄 Aku juga sangat berterima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca cerpenku🙏😊

Berikan kritik dan saran juga, ya!😄

See you in the next post!😊




Comments

Popular posts from this blog

Cerita John di Rumahku

Assalamualaikum wr wb Salam sejahtera bagi kita semua. Hai, hai! Welcome to my new pages! Aku mau tanya, apa kalian pecinta hewan? Kalo ya, pasti kalian punya hewan peliharaan, kan? Meskipun tidak semua orang punya, mungkin ada alasan tersendiri. Ngomongin hewan peliharaan, mayoritas kucing menjadi hewan peliharaan di rumah, di kantor, di pasar, dll. Pecinta hewan yang street feeding , pasti punya anabul di mana-mana. Aku pecinta kucing, aku punya satu kucing dan satu kucing orang yang suka nongkrong minta makan di rumah. Nah, kali ini aku mau bercerita tentang kucing yang suka nongkrong di rumahku. Kenalin, dia John. Ibu ku yang memberi nama ini, ternyata si pemilik juga kasih nama John. Awalnya, kami kira John ini tidak bertuan, ternyata dia bertuan. Tapi, hampir setiap hari dia makan di rumah, aku kurang tahu kenapa. Tapi, Alhamdulillah, John merasa nyaman di rumah kami. Hujan berganti hujan, John sudah tiga minggu tidak nongkrong di rumah. Padahal kami sudah menyiapkan ikan (John t

Mengapa Zat Cair Menguap dari Permukaan dan Kue Matang dari Pinggir?

M engapa zat cair menguap dari bagian permukaan dan kue matang dari bagian pinggir??? Fenomena tersebut dapat dijelaskan dengan melihat gaya tarik menarik antar partikel zat cair di dalam wadah. Gaya tarik menarik antar sesama molekul sejenis disebut gaya kohesi. Zat ca ir akan menguap pada suhu di bawah titik didih, disebut evaporasi. Zat cair menguap pada suhu tepat di titik didihnya, disebut vaporasi. Vaporasi dan evaporasi juga terjadi pada senyawa lain dan molekul lain yang berwujud cair. Zat cair akan menguap dari permukaan. Partikel zat cair pada permukaan hanya melakukan gaya tarik menarik dengan partikel zat cair di samping kiri kanan dan di bawah. Hal tersebut berbeda dengan partikel zat cair di bagian lebih dalam, gaya tarik menariknya dari atas, bawah, dan samping kiri kanan. Perbedaan tersebut mengakibatkan zat cair di permukaan lebih dulu menguap karena gaya tarik menarik sedikit. Proses penguapan zat cair termasuk reaksi endoterm karena zat cair membutuhkan energi untuk